Klaten, Jawa Tengah — Inovasi pertanian ramah lingkungan terus berkembang melalui sinergi antara mahasiswa, petani, dan lembaga masyarakat. Kali ini, Tim Magang Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bersama Kelompok Tani (Poktan) Rukun Makmur, Desa Kemudo, Prambanan, dan Yayasan Gita Pertiwi berhasil mengubah berbagai limbah lokal menjadi sarana produksi pertanian (saprotan) organik yang bernilai tinggi.
Siapa sangka urine kambing dan eceng gondok yang selama ini tidak termanfaatkan ternyata bisa disulap menjadi pupuk organik cair bernilai tinggi. Inovasi yang dikembangkan melalui sinergisitas bersama ini sebagai solusi pertanian regeneratif dengan memanfaatkan sumber daya lokal.
Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah pengolahan urine kambing menjadi pupuk organik cair (POC). Urine kambing yang semula dianggap limbah kini dapat difungsikan sebagai pupuk alami. Proses pembuatannya melibatkan campuran urine kambing, tetes tebu, terasi, dan EM4 (mikroorganisme efektif) yang kemudian difermentasikan selama 7–14 hari. “Hasil fermentasi ini menghasilkan sekitar 100 liter pupuk cair yang sangat baik untuk pertumbuhan tanaman,” jelas Mukti Adiwibowo, mahasiswa Fakultas Pertanian UNS.
Kegiatan ini mendapatkan respons positif dari petani setempat. Giyanto, Ketua Poktan Rukun Makmur, menyampaikan bahwa pemanfaatan urine kambing sangat membantu petani. “Urine yang sebelumnya hanya dibuang, sekarang bisa jadi pupuk dan mengurangi pengeluaran biaya tani,” ujarnya.
Tak hanya itu, tim juga memanfaatkan eceng gondok yang selama ini menjadi gulma air untuk diolah menjadi asam humat. Proses fermentasi dan ekstraksi sederhana memungkinkan petani memproduksinya secara mandiri. Selain itu, ikan lele yang relatif murah diolah
menjadi asam amino cair yang berfungsi mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan produktivitas. Melalui pemanfaatan potensi lokal tersebut dapat meningkatkan kemandirian petani Kelompok Tani (Poktan) Rukun Makmur untuk memproduksi pupuk sendiri tanpa bergantung pada pupuk kimia. “Selama ini kami cukup bergantung pada pupuk pabrikan, dan harganya naik terus. Kalau bisa bikin sendiri dari bahan yang ada di sekitar, tentu sangat membantu,” ujar Bapak Sugito salah satu anggota Poktan Rukun Makmur.

Yayasan Gita Pertiwi, yang turut mendampingi kegiatan ini, menilai bahwa kolaborasi lintas sektor seperti ini penting untuk menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan. Program ini dapat mendorong kemandirian petani dan pengelolaan sumber daya lokal secara bijak. “Kami percaya bahwa perubahan menuju pertanian berkelanjutan harus dimulai dari desa, dengan mendorong pemanfaatan sumber daya lokal dan keterlibatan aktif petani muda maupun mahasiswa. Kolaborasi ini menjadi contoh konkret bagaimana inovasi bisa tumbuh dari bawah dan memberikan manfaat nyata bagi lingkungan dan kesejahteraan petani,” ungkap Pramudita salah satu perwakilan Yayasan Gita Pertiwi.
Program ini juga mencakup edukasi dan pendampingan teknis kepada para petani agar mereka mampu memproduksi dan menggunakan saprotan organik secara mandiri. Ke depan, mahasiswa UNS dan Gita Pertiwi akan menyusun panduan berupa kalender resep, cara pembuatan, dan dosis penggunaan pupuk organik untuk memperkuat kemandirian petani. Inovasi ini membuktikan bahwa dengan semangat gotong royong dan pemanfaatan potensi lokal, berbagai limbah dapat diubah menjadi berkah dan masalah menjadi solusi.
