Gita Pertiwi Dorong Insentif untuk Swasta Pendukung Kota Cerdas pangan
SOLO—Yayasan Gita Pertiwi mendorong adanya insentif untuk pihak swasta yang mendukung pelaksanaaan Kota Cerdas Pangan. Insentif diharapkan merangsang sektor privat untuk menyusun program yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan dan pangan berkelanjutan.
Hal itu disampaikan Direktur Program Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti, dalam jumpa pers bertema “2023, Surakarta Terapkan Peta Jalan Kota Cerdas Pangan” di Hotel Indah Palace, Kamis (29/12/2022). Kegiatan tersebut sekaligus memperingati Hari Jadi ke-31 Gita Pertiwi. Titik mengatakan penerapan peta jalan Kota Cerdas Pangan mulai tahun 2023 harus menjadi tanggungjawab bersama, tak terkecuali sektor swasta. “Pemkot sebagai dirigen perlu merumuskan strategi agar semua pihak dapat ‘nyengkuyung’ upaya menuju Kota Cerdas Pangan,” ujar Titik.
Dalam kegiatan hadir pula Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Solo, Sultan Nadjamuddin, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Solo, Eko Nugroho Isbandijarso, Kepala SDN Cemara 2 No.13 Solo, Eni Idayati dan pengelola Bank Sampah Gajah Putih, Sri Basuki Rachmat.
Menurut Titik, sektor swasta yang memiliki program seperti berbagi makanan, pengelolaan sampah pangan dan program sejenis lain selayaknya diberi penghargaan. “Reward-nya bisa berupa pengurangan pajak. Insentif ini harapannya bisa memacu sektor bisnis untuk lebih peduli dengan isu lingkungan dan ketahanan pangan,” ujarnya.
Pengelolaan sampah pangan dan berbagi makanan (food sharing) dinilai penting untuk menekan timbulan sampah pangan perkotaan. Merujuk data Gita Pertiwi, sampah pangan rumah tangga di Solo mencapai 95,33 ton/hari atau 31,8% dari total timbulan sampah di Kota Bengawan. Pemkot telah memulai kerjasama dengan sektor swasta untuk menekan laju timbulan sampah perkotaan.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Surakarta, Eko Nugroho Isbandijarso, mengatakan pihaknya telah bermitra dengan sebuah hotel bintang lima dalam pengelolaan sampah pangannya.
“Sampah pangannya kami kelola agar bernilai ekonomis seperti produksi maggot BSF. Maggot BSF digunakan sebagai pakan unggas dan ikan untuk mengganti pakan pabrikan yang harganya cenderung meningkat. Dengan substitusi maggot BSF, maka biaya pakan akan menurun sehingga mengurangi biaya produksi para pembudidaya unggas dan ikan. Sebagai mitra, tentu ada hak dan tanggungjawab yang perlu dipenuhi. Kami harap pola kolaborasi seperti ini bisa terus berkembang,” ujarnya.
Pihaknya berharap pengelolaan sampah pangan juga dapat dimulai dari level rumah tangga. Menurut Eko, budidaya maggot BSF relatif mudah apabila warga sudah memiliki ilmu dan kesadaran mengelola sampahnya. “Mudah dan hasilnya nyata. Kami akan kolaborasi dengan sejumlah pihak untuk membuat sebuah kelurahan percontohan.”
Sementara itu, Bank Sampah Gajah Putih telah menjalin kemitraan dengan restoran untuk pengelolaan sampah organik menjadi maggot BSF. Pengelola bank sampah, Sri Basuki Rachmat, mengatakan ada restoran, gedung pernikahan, sekolah di lingkungannya yang rutin menyuplai sampah pangan. “Sampah dari restoran dan sisa dapur warga kami gunakan sebagai pakan maggot. Produksi maggot segar kami pakai untuk pakan lele dan unggas, ada pula yang dijual. Kasgot (sisa maggot)-nya bisa untuk pupuk organik kegiatan urban farming. Lewat budidaya maggot, bank sampah pun bisa menjadi bank pangan,” ujarnya.