Ekologi Positif
Kompas, Kamis, 27 Juli 2023
oleh Budi Widianarko, Dosen Unika Soegijapranata dan Anggota Gugus Tugas Pengembangan Ekologi. Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK)
Akhir Juni lalu, Emil Salim, utusan Pemerintah Indonesia dalam Koferensi Tingkat Bumi 1992, menolak Climate Hero Award dari Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) karena merasa gagal dalam mewujudkan dua konvensi dari perhelatan di Rio de jeneiro.
Emil Salim kecewa karena semua pemerintahan di dunia gagal melaksanakan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity) dan Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change). Kinerja Indonesia sendiri dalam pelaksanaan kedua konvensi itu adalah poor (rendah, buruk).
Kekecewaan Emil Salim mewakili perasaan kalangan pro-lingkungan di berbagai belahan bumi. Salah satu penjelasan untuk kegagalan di atas adalah kemenangan kelompok pro-pertumbuh-an dalam menafsirkan—atau malah menyalahtafsirkan—dua konvensi itu.
Dalam pertarungan pengaruh antar-pemangku kepentingan, kelompok pro-pertumbuhan mengalahkan kelompok pro-keberlanjutan. Oleh kelompok pemenang ini, tokenisme (tokenism) dan pembelokan (deflection) diusung sebagai dua “senjata” untuk mempertahankan pertumbuhan (baca antara lain The New Climate War karya Michael E Mann, 2021). Tokenisme mewujud dalam “basa-basi” lingkungan alias green washing—yang terkesan pro-lingkungan, tetapi sebenarnya tidak punya daya ungkit (Widianarko, Kompas, 20/06/2023).
Sementara itu, pembelokan adalah pengalihan dari isu utama ke isu lain yang terkesan benar, padahal melenceng dari sasaran, Salah satu contoh klasik-nya, pembelokan dari sustainability (keberlanjutan) ke sustainable growth (pertumbuhan yang berkelanjutan). Meskipun yang kedua memiliki makna dan konsekuensi yang bertolak belakang dari yang pertama, tetap saja ada kelompok yang “ngotot” mengarusutamakannya.
Selain kelompok pro-pertumbuhan—dengan tokenisme dan pembelokan sebagai senjatanya—rumpun ilmu ekologi (ecological sciences) juga bertanggung jawab atas kegagalan mewujudkan keberlanjutan. Secara internal, rumpun keilmuan ini punya kelemahan internal, yaitu kesalahan strategi dalam menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks.
Kesalahan strategi yang paling mencolok adalah cara “pemasaran”-nya. Kegagalan ekologi, menurut Gerald Schmidt (Positive Ecology: Sustainability and the ‘Good Life’, 2005), bisa jadi disebabkan oleh kesalahan pemasaran (marketing mistake). Selama ini rumpun ekologi memang lebih menitikberatkan pada berbagai skenario kerusakan lingkungan.
Berbagai skenario kerusakan dan perusakan lingkungan akibat ulah manusia akhirnya akan berujung pada ramalan akan tumbangnya alam (doomsday prediction) dalam menopang kehidupan manusia. Dalam hal ini, peran manusia dalam kerusakan dan perusakan lingkungan menjadi tema kajian utama.
Berbagai aspek kehidupan, terutama gaya hidup manusia, cenderung selalu dikaitkan dampaknya terhadap ekosistem. Rumpun ekologi perlu menemukan keseimbangan agar tak terlalu bercorak kehancuran (apocalyptic) seperti yang terperikan-salah satunya-dalam Collapse karya Jarred Diamond (2005).
Mewujudkan ekologi positif
Ekologi mungkin bisa belajar mengadopsi apa yang baik dari psikologi. Ekologi perlu bergeser dari sebuah bidang ilmu yang lebih menitikberatkanpada krisis (crisis discipline) ke arah yang lebih menggugah semangat dan membangkitkan inspirasi. Menurut salah satu tokohnya, Martin EP Seligman, yang pernah menjabat sebagai Presiden Asosiasi Psikologi Amerika, psikologi bukan hanya studi tentang kelemahan dan kerusakan, melainkan juga tentang kekuatan dan keutamaan. Perlakuan (treatment) diberikan bukan hanya untuk memperbaiki yang rusak, melainkan juga untuk menumbuhkan hal-hal baik terbaik dalam diri kita.
Psikologi positif memiliki keterkaitan dengan relasi antara manusia dan alam sekitarnya, termasuk makhluk hidup lain. Peran psikologi positif cukup penting dalam pewujudan kesejahteraan terpadu (intergrated wellbeing) yang merupakan perpaduan dua nilai kesejahteraan yang cenderung bertentangan, yaitu nilai hedonik (hedonia) dan nilai eudaimonik (eudaimonia), tetapi keduanya merupakan nilai inheren penting dalam konsep kesejetahraan (Henderson & Knight, 2012). Ekologi positif menekankan pentingnya mengidentifikasi dan mempromosikan layanan ekologi yang disediakan oleh ekosistem, seperti penyerbukan, pengikatan karbon, dan siklus nutrisi.
Begitu pula layanan ekosistem yang punya manfaat sosial ekonomi, seperti ketahanan pangan, regulasi iklim, kesehatan mental dan fisik. Tujuan utama dari ekologi positif adalah mengembangkan praktik pengelolaan yang berkelanjutan yang mempromosikan interaksi positif antara manusia dan alam, merawat ekosistem seraya memanfaatkannya bagi kesejahteraan terpadu manusia.
Rintisan ekologi positif sebenarnya sudah muncul ke permukaan sejak tercetusnya hipotesis biofilia, yang memiliki implikasi pada konservasi lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Hipotesis biofilia sudah diperkenalkan tiga dasawarsa lalu oleh Edward O Wilson. Hipotesis ini mengangkat pentingnya hubungan manusia dengan alam dalam konteks kesehatan mental dan kesejahteraan manusia secara keseluruhan (Kellert & Wilson,1993).
Sesuai alur berpikir ini, ekologi—sebagai bagian dari ilmu pengetahuan—tak seharusnya menumpukan perhatian pada masalah dan kerusakan belaka, tetapi mengarah pada keterpaduan sadar (conscious integration) antara kemanusiaan dan biosfer demi terwujudnya koevolusi kemanusiaan sebagai bagian dari alam (humanity-in-nature).
Dengan begitu pemaknaan keberlanjutan melampaui “sekadar” transformasi menuju keberlanjutan demi generasi mendatang, tetapi—menurut Gerald Schmidt—juga harus rasa dan kebermaknaan (sense and meaningfulness) transformasi pada saat ini dan pada masa depan.
Hipotesis biofilia menyatakan bahwa manusia secara naluriah memiliki kecenderungan untuk mencintai dan merasa terhubung dengan alam dan makhluk hidup lainnya. Kecenderungan ini merupakan hasil evolusi manusia yang berasal dari jutaan tahun kehidupan dalam lingkungan alami sehingga kecenderungan ini menjadi bagian dari warisan genetik” manusia. Hipotesis ini menyatakan bahwa hubungan manusia dengan alam bukan hanya sekadar interaksi fungsional atau utilitarian, tetapi juga mencakup hubungan estetika, emosional, dan bahkan spiritual.
Kehadiran ekologi positif bisa dibilang akan menyeimbangkan pendulum kajian dan gerakan ekologi, antara kutub pesimisme ekologis (eco-pessimism) yang sarat aktivisme lingkungan (environmental-ism) dan kutub optimisme ekologis (eco-optimism) yang cenderung anti-gerakan lingkungan (anti-evironmentalism).
Dalam menggambarkan ceruk ekologi positif, Gerald Schmidt menggunakan frasa “.. synergies between ecological sustainability and what makes up a good life for the individual, and development/progress for humanity…”. Ia menegaskan bahwa kita (manusia) jangan hanya berjuang demi pembelaan lingkungan, tetapi juga harus mengalami hidup yang lebih baik saat melakukannya. Dengan kata lain, ekologi positif merupakan pendekatan ilmiah dan praksis yang mendukung keberlanjutan ekosistem sekaligus kualitas hidup manusia. Kehadiran ekologi positif tentu sangat sayang jika terlewatkan dalam perbincangan di kalangan pembelajar ilmu-ilmu ekologi di Indonesia, baik yang berkecimpung di kancah penelitian, pengajaran, pemberdayaan masyarakat, ataupun advokasi, kebijakan, dan pengambilan keputusan.